BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu
sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya
pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. (Abidin&Aminuddin,
1999:12) Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab II pasal 2, perkawinan merupakan akad
yang paling sakral dan agung dalam sejarah perjalanan hidup manusia yang dalam
Islam disebut sebagai mitsaqan ghalidhan, yaitu akad yang sangat kuat
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Selain itu
perkawinan juga merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Karena dengan perkawinan kehidupan rumah tangga dapat ditegakkan dan
dibina sesuai dengan norma agama dan tata kelakuan atau adat istiadat
masyarakat setempat. Rumah tangga memungkinkan manusia mendapat keturunan
sebagai penerus generasi masa depan.
Al-Quran
juga menjelaskan bahwa manusia secara naluriah, disamping mempunyai keinginan
terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai
lawan jenisnya. Untuk memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan
manusia yang berlainan jenis itu, Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus
dilalui, yaitu perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat
Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. (Q.S. Ar-Rum: 21)
Lebih
lanjut Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl ayat 72, sebagai berikut:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Q.S.
An-Nahl:72)
Berdasarkan
kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak menyetujui seorang Muslim
memilih hidup membujang. Namun sebaliknya, Islam justru memerintahkan umat
Islam untuk menikah. Sedangkan tujuan perkawinan dalam Islam, pada hakikatnya
bukan semata-mata untuk kesenangan lahiriah melainkan juga membentuk suatu
ikatan kekeluargaan, pria dan wanita dapat memelihara diri dari kesesatan dan
perbuatan tidak senonoh. Selain itu tujuan perkawinan adalah melahirkan
keturunan dan memeliharanya serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar yang
diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan. Dalam hal ini
perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya,
baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang
dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan
melestarikan hidupnya. (Abidin&Aminuddin,
1999: 9)
Oleh
karena itulah, segala hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan sangat
diperhatikan demi menjaga sakralitas dari perkawinan itu sendiri. Dalam realita
kehidupan, perkawinan berlaku di seluruh dunia termasuk Indonesia. Indonesia
adalah Negara kepulauan yang terletak pada garis katulistiwa. Penduduk yang
berdiam berasal dari pulau-pulau di dalamnya bermacam ragam adat budaya dan
hukum adatnya masih terasa kental, hal ini sesuai dengan semboyan Negara
Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti meskipun terdapat perbedaan
suku, adat, bahasa, ras, agama, budaya dan lain-lain tetapi tetap satu
kesatuan. Sebagaimana tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang
satu berbeda dengan masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda
dengan suku bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dengan yang
beragama Hindu, Kristen, Budha dan lain-lain.
Hukum
adat di Indonesia pada umumnya menjelaskan bahwa perkawinan bukan saja berarti
sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan,
seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan
kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan,
kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara
adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan
larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah)
maupun hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah) dalam pergaulan
hidup agar selamat di dunia dan di akhirat. Hukum perkawinan adat di Indonesia
itu dapat berbentuk “perkawinan jujur” dimana pelamaran dilakukan oleh
pihak pria kepada pihak wanita. Setelah pelaksanaan perkawinan, istri mengikuti
tempat kediaman suami seperti di daerah Lampung, Palembang, Bali dan sebagian
besar wilayah di Indonesia. (Hadikusuma, 1990: 8-9) Jadi terkait dengan masalah
perkawinan, maka budaya dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada. Begitu juga
pergaulan masyarakat setempat terbentuk karena dipengaruhi oleh kebiasaan,
kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat tersebut.
Di
Desa Ketapang
Kecamatan Sungkai Selatan
Kabupaten Lampung Utara,
ada tradisi adat yang
disebut Kawin Lari (Selarian). Dalam tradisi kawin lari bujang (anak laki-laki) melarikan gadis (anak
perempuan) ke rumah orang tua atau kerabat dekatnya. Lalu gadis tersebut
memberitahu pihak keluarganya dengan cara meninggalkan sepucuk surat dan juga
meninggalkan uang yang disebut tengepik. Isi surat tersebut menyatakan
permintaan maaf si gadis pada orang tuanya atas kepergian tanpa izin dengan
maksud perkawinan dengan bujang yang disebut nama dan kerabatnya serta
alamatnya dalam surat tersebut.
Pada saat gadis tersebut barada di rumah calon suaminya
maka dimulailah prosesi adat, mulai dari acara ngantak salah (menyatakan
permintaan maaf, mengakui kesalahan dan memohon perundingan) dari pihak
laki-laki kepada pihak perempuan hingga acara penutup yaitu peradu dau atau mengakhiri pekerjaan
ditempat kerabat wanita. Pada acara peradu dau ini juga diberitahukan kepada masyarakat bahwa status
bujang dan gadis tersebut telah berubah menjadi suami istri dalam pandangan
hukum adat. Namun mereka belum sah karena belum diadakan akad nikah walaupun
mereka tinggal serumah. Akad nikah dilakukan setelah prosesi adat selesai.
Apabila diteliti lagi dari segi hukum Islam, maka akan
menimbulkan permasalahan yakni mengenai hukum bagi mereka yang tinggal bersama
dalam satu rumah namun belum ada hubungan akad pernikahan yang sah menurut
agama. Hal
tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma ajaran Islam. Maka dari itu
dalam tuntunan ajaran Islam sebuah pernikahan dimulai dengan cara melamar atau
meminang.
Pernikahan
kawin lari itu sendiri, antara lain adalah calon pengantin wanita harus tinggal
di rumah calon pengantin pria atau kerabat calon pengantin pria hingga akad
nikah dilangsungkan, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan fitnah di kalangan
masyarakat. Calon pengantin wanita dan pria telah bersama-sama tanpa adanya
suatu ikatan yang sah, selama itu calon pengantin wanita juga diharuskan
menggunakan kebaya, kain tapis, perhiasan emas dan sanggul agar terlihat cantik
dalam menerima tamu yang datang. Dengan tinggal bersama dalam satu rumah
meskipun juga tinggal bersama dengan keluarga calon pengantin pria, tetapi
interaksi keduanya akan sering terjadi. Dengan demikian pandangan mata mereka
akan sulit terjaga bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi sesuatu hal
yang bertentangan dengan syari’at Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya. Yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat". (Q.S. An-Nur: 30)
Oleh karena itu, tradisi kawin lari tersebut
menarik peneliti untuk melakukan penelitian lebih jauh tentang faktor yang
melatarbelakangi kawin lari serta
pandangan hukum Islam tentang
tradisi kawin lari dalam perkawinan adat. Perkawinan tersebut terus dilakukan oleh masyarakat Desa
Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung
sampai saat ini.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka
penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah skripsi yang
berjudul “Tradisi Kawin Lari dalam Perkawinan Adat di Desa Ketapang
Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung
dalam Perspektif Hukum Islam”.
B. Penegasan
Istilah
Untuk
mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan
batasan tehadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah:
1. Tradisi
kawin Lari dalam bahasa lampung
disebut sebambangan, yaitu larinya bujang dan gadis ke rumah si bujang
atau kerabat bujang untuk terjadinya suatu pernikahan setelah melalui
prosesi-prosesi adat.
2.
Perkawinan adat adalah perkawinan yang
mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
tertentu. (Hadikusuma, 1990: 8)
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan
latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
- Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi tradisi kawin lari dalam perkawinan adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung?
- Bagaimana tradisi kawin lari dalam perkawinan adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung menurut perspektif hukum Islam?
D. Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah:
- Untuk mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakangi tradisi kawin lari dalam perkawinan adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung.
- Untuk mengetahui tradisi kawin lari dalam perkawinan adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung menurut perspektif hukum Islam.
E. Kegunaan
Penelitian
Manfaat
atau kegunaan daripada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai
berikut:
1. Secara
Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk
memperkaya wacana realitas akulturasi hukum Islam dengan tradisi lokal dan juga
menambah bahan pustaka bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
2. Secara
Praktis
a. Sebagai
sumbangan pemikiran untuk Pemerintah dalam melestarikan adat budaya yang ada di
masyarakat.
b. Dapat
memberikan kontibusi bagi ulama dalam pengembangan ilmu pengetahuan khusunya di
bidang hukum Islam.
c. Sebagai
tambahan pengetahuan untuk umat dalam memperkaya pengetahuan keagamaan
khususnya dalam bidang perkawinan dan hukum Islam.
F. Metode
Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang
digunakan penulis pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan ini melihat implementasi
riel di dalam masyarakat. (Ali, 2009: 105) Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian (field research) yaitu yaitu
suatu penelitian yang terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian
pada obyek yang dibahas.
2.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini
adalah di Desa Ketapang
Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten
Lampung Utara.
Di desa ini hukum adat masih dijunjung tinggi. Maka dari itu penulis tertarik
untuk meneliti desa tersebut yang mana memiliki tradisi kawin lari dalam perkawinan adat.
3.
Sumber Data
a. Data
Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
sumbernya baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen
tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.
b. Data
Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian,
hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi dan peraturan perundang-undangan.
(Ali, 2009: 106)
4.
Prosedur Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu
pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau
perilaku objek sasaran. (Fathoni, 2011:104) Peneliti menggunakan observasi langsung ke
Desa Ketapang
Kecamatan Sungkai Selatan
Kabupaten Lampung Utara.
Di sini peneliti
mengamati prosesi kawin lari, prosesi adat pasca kawin lari dan prosesi akad
nikah .
b. Wawancara
Wawancara adalah
teknik pengumpulan data melalui tanya jawab lisan, dimana pertanyaan datang
dari pihak yang mewancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara.
(Fathoni, 2011:105)
Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan
mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah tokoh
adat untuk mendapatkan info tentang prosesi adat pasca kawin lari, tokoh agama
dan kepala KUA Desa Ketapang untuk mendapatkan info tentang pandangan hokum
Islam tentang tradisi kawin lari, pelaku kawin lari untuk mengetahui
penyebab alas an kawin lari dan kronologi dari kawin lari, dan orang tua pelaku
kawin lari untuk mengetahui alasan tidak menyetujui hubungan anaknya dan perasaannya
ketika anaknya melakukan kawin lari.
c. Dokumentasi
Mencari
data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari pemuka adat.
Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data.
5.
Analisis Data
Setelah
seluruh data terkumpul maka barulah penulis menentukan bentuk analisa terhadap
data-data tersebut, antara lain dengan metode :
a.
Deduktif
Yaitu
analisa yang bertitik tolak dari suatu kaidah yang umum menuju suatu kesimpulan
yang bersifat khusus, artinya ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam nas
dijadikan sebagai pedoman untuk menganalisis pandangan hukum Islam tentang
tradisi kawin lari dalam perkawinan adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai
Selatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung.
b.
Kualitatif
Yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. (Moleong, 2008: 4) Penulis menggunakan
prosedur penelitian kualitatif karena ingin menceritakan tentang kawin lari.
6.
Pengecekan Keabsahan Data
Dalam menguji keabsahan data peneliti
menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling
banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lainnya. (Moloeng,
2007:330) Menurut Denzin (dalam Moloeng, 2007:330), membedakan empat macam
trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,
metode, penyidik, dan teori. Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi
langsung dan observasi tidak langsung, observasi tidak langsung ini dimaksudkan
dalam bentuk pengamatan atas beberapa kelakukan dan kejadian yang kemudian dari
hasil pengamatan tersebut diambil kesimpulan yang menghubungkan di antara
keduanya.
G. Sistematika
Penulisan
Untuk
mempermudah pemahaman isi penelitian ini, maka sistematika pembahasannya dibagi
menjadi lima bab, yang berisi hal-hal pokok yang dapat dijadikan pijakan dalam
memahami pembahasan ini. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut yaitu :
BAB I : Pendahuluan yang berisi uraian tentang
Latar Belakang masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Kajian Pustaka yang berisi uraian tentang
Tinjauan Umum tentang Perkawinan, Perkawinan menurut Hukum Islam,
Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Perkawinan menurut Hukum
Adat, Pengertian Kawin Lari Secara Umum dan Menurut Hukum Adat.
BAB III : Paparan Data dan Temuan Penelitian berisi
tentang deskripsi wilayah pada masyarakat Desa Ketapang Kecamatan Sungkai
Selatan Kabupaten Lampung Utara, Latar Belakang yang
Menyebabkan Masyarakat Desa Ketapang Melaksanakan Pernikahan dengan cara Kawin
Lari dan Prosesi Tradisi Kawin Lari dalam Perkawinan Adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung
Utara.
BAB IV : Pembahasan
berisi tentang analisis tentang hal-hal mengenai tradisi kawin lari dalam
perkawinan adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung
Utara Propinsi Lampung. Pada bab ini dijelaskan analisis tentang faktor-faktor
yang melatarbelakangi tradisi kawin lari dalam perkawinan adat di Desa Ketapang
Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara dan analisis
tradisi Kawin Lari di Desa Ketapang
Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara Menurut Perspektif Hukum
Islam.
BAB V : Penutup berisi tentang kesimpulan dari
seluruh hasil penelitian, saran-saran ataupun rekomendasi dalam rangka
meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam khususnya hukum Kawin Lari
di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara.
Assalamualaikum, mbak boleh tanay tanya gak? Tentang ini, didalam islam bukannya ga boleh mbak kawin lari, jadi kalodikaitkan dengan islam apakah sudah bisa dijawab
BalasHapusWhat is the minimum deposit required to claim a casino bonus
BalasHapusFor example, if you want to play 제주도 출장안마 slots at a live casino in a casino, do not 당진 출장마사지 need to be at least 파주 출장안마 5 사천 출장샵 years old at all. Even if you already have 경상남도 출장안마